JURNALISME DUNGU’, istilah ini terdengar kasar di telinga para jurnalis/wartawan atau pegiat media baik cetak dan eletronik maupun online. Namun fenomena jurnalisme dungu itu bak ‘bopeng’ yang merusak wajah dunia jurnalisme dan kredibilitas serta integritas para pegiat jurnalisme.
Tulisan ini merupakan secuil refleksi kritis atas kondisi faktual praktek jurnalisme oknum pegiat pers di tengah lautan persoalan kasus dugaan korupsi di Bank Pemerintah Daerah atau bank NTT saat ini. Di persoalan ini, media dan para jurnalis tampak dikondisikan untuk tersegregasi dalam dua kubu, yakni media dengan pemberitaan kritis dan tajam tentang dugaan korupsi di bank NTT dan media pro bank NTT dengan semangat pemberitaan puja-puji dan hiperbola tentang Bank NTT.
Saya berharap, tulisan ini sebagai kado sekaligus momentum refleksi bersama para pegiat pers di NTT di Hari Pers Nasional Tanggal 9 Februari 2023.
Jurnalisme Dungu
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak memberikan defenisi gamblang dan lengkap tentang istilah ‘Jurnalisme Dungu’, kecuali kalau kita berusaha memahami maknanya kata demi kata. KBBI mendefinisikan kata jurnalisme sebagai pekerjaan (profesi) mengumpulkan serta menulis berita di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Jurnalisme juga dapat berarti dunia kewartawanan. Kata lain dari jurnalisme yaitu jurnalistik yang oleh KKBI berarti segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran. Jurnalistik juga berarti seni kejuruan yang berkaitan dengan pemberitaan serta persuratkabaran.
Jurnalistik atau journalistiek (bahasa Belanda), berarti penulisan dan penyampaian berita kepada publik lewat saluran media tertentu. Sedangkan jurnalis yaitu orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar dan sebagainya; wartawan.
Sementara kata dungu (adj) menurut KBBI berarti sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Jadi Jurnalisme Dungu (stupid jurnalism) dapat berarti praktek pemberitaan atau persuratkabaran atau kewartawanan yang tidak cerdas atau bodoh. Jurnalis/wartawan dengan praktek jurnalisme dungu (a stupid jurnalis) adalah wartawan yang tumpul otaknya, tidak cerdas, bebal dan bodoh.
Jurnalis dungu adalah termasuk mereka yang mengaku jurnalis dan bahkan menduduki jabatan Pemred (Pemimpin Redaksi) dadakan pada perusahaan media tertentu, tetapi tanpa kemampuan menulis berita dan tanpa kompetensi apa pun. Ia menggantung kartu pers dan berkeliling mencari berita, tetapi tak pernah mampu menulis atau menghasilkan sebuah berita sesuai standar jurnalistik.
Selain itu, ia menayang berita pesanan alias rilis dari sebuah institusi atau perseorangan apa adanya. Sialnya, jurnalis atau media dengan tipe ini (dungu, red) sering dimanfaatkan sebagai ‘kuda tunggang’ oleh badan publik atau individu tertentu untuk mendongrak kepentingan popularitas lembaga atau pribadi walau semu atau omong kosong.
Angela Phillip, Jurnalis Senior sekaligus Profesor Ilmu Jurnalistik di the University of London dalam artikelnya “Againts Stupidity in The Media (2019)” menyebutnya sebagai praktek jurnalisme/pemberitaan asal tayang tanpa daya kritis atas konten yang belum teruji kebenarannya, tanpa didalami dengan pertanyaan “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan (dari pemberitaan, red) serta dimana letak kebenaran sesungguhnya yang sedang disembunyikan dan siapa yang paling bertanggungjawab?
Ragam Dugaan Korupsi di Bank NTT
Bank NTT akhir-akhir ini menjadi bulan-bulanan publik dan pegiat anti korupsi serta pemegang Saham Seri B Bank NTT melalui pemberitaan media masa (baik media cetak dan media eletronik maupun media online, red) tentang dugaan kasus korupsi.
Media lokal dan nasional akhir-akhir ini ramai memberitakan berbagai masalah di bank NTT, antara lain kasus kredit PT. Budimas Pundinusa senilai Rp 100 Milyar yang diduga melibatkan sejumlah petinggi Bank NTT dan Pejabat Tinggi Pemerintah Daerah, Kredit fiktif Bank NTT Cabang Surabaya Rp 127 Milyar dimana sejumlah pejabat tinggi bank NTT sampai hari ini masih lolos dari jeratan hukum, kasus gagal bayar MTN Rp 50 Milyar PT.SNP dan kredit fiktif Bank NTT Cabang Waingapu senilai Rp 2,6 Milyar yang menyeret nama Aleks Riwu Kaho (Dirut Bank NTT saat ini, red).
Juga kasus Pemberian Fasilitasi Kredit Rp 5 Milyar tahun 2018, SK 01.A tentang Honorarium tim uji Kelayakan dan Kepatuhan Kepada Komisaris Bank NTT sebesar Rp 10 Juta/Hari, Biaya Perjalanan Dinas Dirut Bank NTT (Rp 913 Juta) dan Kadiv Rencorsec dan staf (Rp 2,7 Milyar) Tahun 2022 yang melebihi hari kerja dalam setahun.
Terkuak juga Sanksi BI terhadap Bank NTT berupa penghentian sejumlah produk layanan online bank NTT (seperti internet banking dan mobile banking) dan pembayaran uang senilai Rp 60 juta, akibat menjual produk tersebut secara ilegal/tanpa izin dari BI terlebih dahulu. Selain itu, media juga menguak adanya temuan OJK NTT terkait Kredit fiktif PT. Budimas Oundinusa yang hingga saat ini tidak ditindaklanjuti.
Parahnya lagi, laba bank NTT terus mengalami penurunan alias anjlok selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2020 hingga 2022 ini.
Sementara itu, Bank NTT didugat mantan Dirut bank NTT, Izak Rihi senilai Rp 64,6 Milyar, Pemberhentian Kancab Bank NTT Kefamenanu Tanpa Kesempatan Bela Diri dan Tanpa Pesangon, bank NTT dilaporkan LSM IKK ke Ketua DPRD NTT terkait dugaan penyimpangan dana Rp 44,3 Milyar.
Walau demikian, juga tidak sedikit barisan media yang muncul sebagai ‘serdadu perang’ dan ‘benteng pertahanan’ yang getol membela bank NTT dari pemberitaan kritis media anti korupsi. Media-media yang pro Bank NTT dimaksud muncul dengan berbagai judul pemberitaan puja-puji dan bahkan terkesan hiperbola, dan memposisikan diri sebagai lawan tanding dengan tujuan untuk meng-counter/melawan pemberitaan yang menyorot ragam praktek dugaan korupsi di bank NTT.
Lucunya, bahkan media-media tersebut dijadikan sebagai tukang klarifikasi pemberitaan yang sebenarnya mereka tidak pernah tulis sebelumnya. Judul pemberitaan media-media ‘piaraan’ bank NTT itu sering membalas pemberitaan kritis dan tajam tentang persoalan bank NTT. Bahkan kadang memvonis pemberitaan media anti korupsi sebagai upaya menjatuhkan bank NTT atau upaya Melemahkan Bank NTT. Ada juga judul pemberitaan yang terkesan soft (lembut), tetapi sebenarnya bertujuan sama yaitu membela bank NTT. Misalnya judul: Bank NTT Sehat, Bank NTT Dalam Track Yang Benar, dsb.
Dari aspek bisnis media, semangat jurnalisme ala media-media tersebut (pro bank NTT, red) dapat dipahami, karena diduga pemberitaan mereka berbasis jasa (yakni berdasarkan ikatan kontrak kerjasama atau juga diupah dengan iklan atau advertorial, red), atau juga diduga sebagai bagian upaya cari perhatian wartawan/media untuk mendapatkan dukungan materil dari bank NTT.
CATATAN REDAKSI :Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami,sebagaimana diatur dalam pasal (1) ayat (11) dan (12) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirim melalui email : berita76gmail.com atau ke no kontak : +62 813 3982 5669 / +62 812 3646 2309.