Oleh:
Dr (c). Ir. Karolus Karni Lando, MBA
Redaksi76.com || Larantuka – Di tengah guyuran hujan yang tak henti sejak pagi, ribuan umat Katolik di Larantuka kembali menunjukkan keteguhan iman mereka dalam prosesi Jumat Agung, sebuah tradisi rohani yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Dari anak-anak hingga para lansia, semua larut dalam keheningan, berlutut di sepanjang rute prosesi dengan doa dan air mata penuh harap, tak gentar meski angin kencang dan hujan membasahi tubuh mereka.
Prosesi suci tetap berlangsung khusyuk. Dua patung ikonik – Tuan Ma dan Tuan Ana – keluar dari gereja dan diarak menuju pemberhentian terakhir di depan Patung Pieta.
Hujan belum juga reda, namun justru di tengah cuaca yang berat itu, kemurnian iman umat terasa nyata. Seorang ibu dengan mata berkaca-kaca berkata, “Kami tidak minta hari cerah. Kami hanya ingin tetap berjalan bersama Tuhan, sekalipun di bawah hujan.”
Dalam homilinya pada Minggu Paskah, Bapa Uskup Larantuka mengungkapkan refleksi pribadinya.
“Saya berdoa agar hujan berhenti, tetapi Tuhan memilih agar hujan tetap turun. Dan saya ikut dalam prosesi sampai akhir. Saya menyaksikan sendiri, anak-anak tidak mengeluh, tidak menyerah. Mereka tetap berlutut dalam dingin dan basah, membawa doa-doa mereka di hadapan Tuhan.”ungkapnya
Kesaksian ini menjadi peneguh bahwa di tengah zaman yang penuh tantangan iman, umat Larantuka tetap memelihara spiritualitas yang kokoh.
Bagi mereka, Jumat Agung – yang dikenal sebagai Hari Bae – bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momentum untuk memperbarui iman.
Disebut “baik” bukan karena cerahnya cuaca, melainkan karena kasih Allah yang dinyatakan secara nyata lewat salib Kristus.
Dalam suasana permenungan, kutipan dari Kitab Yesaya kembali menguatkan makna penderitaan Kristus:
> “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, diremukkan oleh karena kejahatan kita… oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:5)
Di balik kemegahan tradisi, tampak pula gairah iman dari generasi muda. Mereka aktif mendayung sampan, berjalan dalam prosesi, bahkan ikut berlutut dan mencium karpet dengan penuh hormat. Ini adalah tanda bahwa warisan iman tidak mati – melainkan hidup dan terus tumbuh.
Namun, iman sejati tak berhenti di altar atau prosesi. Umat diajak menjadikan kasih sebagai perwujudan iman dalam hidup sehari-hari.
Dalam keluarga, paroki, hingga masyarakat luas, kita dipanggil untuk mencintai, mengampuni, dan merawat sesama tanpa memandang perbedaan.
Seperti yang ditegaskan Rasul Yakobus:
> “Iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yakobus 2:26)
Bunda Maria, yang selalu hadir dalam prosesi sebagai lambang kesetiaan dan penghiburan, menjadi teladan dan pendamping dalam peziarahan iman.
Ia mengajak umat untuk tetap teguh memikul salib kehidupan masing-masing dengan harapan dan cinta.
Akhirnya, mari kita jadikan setiap hari sebagai Hari Bae – hari penuh kasih, doa, dan tindakan nyata. Karena Tuhan tak pernah berhenti mencintai, maka kini giliran kita menjawab kasih itu dengan hidup yang memuliakan-Nya.
Penulis: Arnold Dewa
CATATAN REDAKSI :Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami,sebagaimana diatur dalam pasal (1) ayat (11) dan (12) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirim melalui email : berita76gmail.com atau ke no kontak : +62 813 3982 5669 / +62 812 3646 2309.